Kekerasan Mahasiswa

Mengungkap Penyebab Perilaku Kekerasan Mahasiswa Makassar
OPINI | 16 December 2010 | 00:24 131 0 Nihil

Oleh : Muh. Faisal, S.Pd.,M.Pd (Dosen UNISMUH Makassar)

Fenomena kekerasan yang terjadi di Makassar bukan lagi perihal yang menyangkut pada kontinyuitas kasuistik yang banyak di beritakan oleh beberapa media. Kekerasan di Makassar jauh menekankan pada aspek postulat kausalitas, yaitu hukum dan ketentuan-ketentuan sebab-akibat, reaksi dari suatu aksi, dalam kategori Imanuel Kant menyebutnya sebagai subtansi (kebutuhan) yang membentuk aksidensi (prilaku). Jika eksistensi masyarakat telah melebur ke dalam asosiasi sosial, maka mereka harus berintegrasi pada pranata dan sistem nilai yang ada. Begitupun dengan mahasiswa, eksistensinya tidak dapat dipisahkan untuk tidak berintegrasi pada statuta kampus yang dipecah kedalam rule of the game birokrasi. Kekerasan mahasiswa bukan karena tanpa sebab, karena dibalik reaksi kekerasan terdapat dorongan, semangat dan gejolak dalam pencapaian perubahan-perubahan sektoral, baik langsung maupun tidak langsung, disadari ataupun tidak. Pertanyaannya kemudian, gejolak apa yang melatar belakangi terbentuknya budaya kekerasan yang di perankan oleh mayoritas mahasiswa di Makassar??

Gejolak Perubahan Sektoral

Banyak yang menyayangkan terjadinya tawuran maupun kekerasan di Makassar, bahkan tidak sedikit diantara kita mengutuk bahkan mengecam tindakan yang merusak kharisma intelektualitas sebagai ladang keilmuan. Tapi perlu disadari bahwa semangat kekerasan adalah sebuah tindakan ekspresif dari aspek kekecewaan. Kekecewaan tumbuh berdasarkan hadirnya kesenjangan antara idealitas dan realitas. Seperti kekecewaan pergerakan mahasiswa Makassar yang terjadi sejak pasca reformasi tahun 1998 sampai saat ini. Hidangan kebijakan politik, pelayanan publik yang berkeadilan sampai penegakan supremasi hukum sampai saat ini masih menjadi benih-benih kerinduan yang tak kunjung datang. Kerinduan dan semangat perubahan tersebut mengeras dan membentuk ekspresi kekerasan yang senantiasa mewarnai pemberitaan di media sampai saat ini. Olehnya, dibalik kekerasan yang terjadi di Makassar, terdapat kepentingan kerjasama yang saling berkaitan satu sama lain. Menilik Teori Talcot Parson, bahwa konflik dan kekerasan terjadi berdasarkan hadirnya interaksionalisasi kelembagaan, kompetisi maupun kerjasama pada dasarnya saling berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai yang bersaing bertabrakan, akibatnya terjadi suatu agresi.

Polarisasi Kekerasan

Masyarakat Kampus (baca: Mahasiswa) terdiri dari 80 % mahasiswa dari daerah yang berbeda-beda, pluralitas mahasiswa tersebut melebur kedalam suatu institusi pendidikan. Karakteristik mahasiswa yang beragam tentu memberikan dinamika tersendiri bagi kampus dalam mengaktualisasikan jati diri mahasiswa. Proses pengaktualisasian jati diri inilah mahasiswa mudah terkoptasi pada segmen primordialistik dan fanatisme sempit yang dianggap layak dipertahankan bahkan ditularkan pada generasi-generasi selanjutnya. Doktrinasi ini berlanjut menjadi sebuah tradisi yang mengarahkan mahasiswa menjadi ‘prajurit-prajurit’ baru khususnya pada penerimaan mahasiswa baru, walau harus tetap diakui bahwa progresifitas pencerahan keilmuan khususnya pada lembaga kemahasiswaan tetap berjalan. Dari simplikasi ini, bisa dibayangkan jika peranan Lembaga Kemahasiswaan berangsur-angsur dimatikan oleh pihak kampus (birokrasi), setidaknya proses pendewasaan dan pencerahan tidak lagi berjalan melalui perangkat-perangkat keilmuan yang tidak diperoleh didalam ruang perkuliahan secara holistik. Olehnya, prestasi kampus dapat dinilai dari sejauhmana Institusi tersebut mampu mengangkat transformasi keilmuan dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan statuta dan visioner perguruan tinggi yang sesungguhnya.

Rekonsiliasi Terpadu

Pada dasarnya tidak ada yang menginginkan kekerasan terjadi, apatahlagi dalam suatu institusi pendidikan yang notabene tempat bersemayamnya kaum terdidik. Kesadaran tersebut senantiasa terpatri dalam jiwa dan relung hati kita masing-masing. Walau terkadang lingkungan dan sistem nilailah yang senantiasa membentuk kekerasan terjadi. Pentas kekerasan yang diperankan hampir setiap perguruan tinggi yang ada di Makassar, adalah fenomena yang luar biasa; yang tentunya membutuhkan penanganan yang luar biasa pula. Bukan hanya dengan sanksi temporer seperti Skorsing, Drop Out dan sanksi hukum kriminal, tapi dibutuhkan rekonsiliasi secara terpadu oleh segenap civitas akademika dalam mengawal visioner pendidikan yang sebenar-benarnya, tidak dikendalikan oleh kepentingan politis apalagi dibatasi oleh tekanan politisasi Nasional, seperti penerapan Normalisasi Keadaan Kampus dan Badan Kordinasi Kampus (NKK/BKK) pada tahun 1979 silam. Kampus adalah tempat suci dan netral dalam melihat persoalan dengan bijak. Tidak mengajarkan peserta didik memelihara prilaku konsumtif yang hanya melihat persoalan dari aspek material yang cenderung instan, dibutuhkan suatu proses kemandirian dalam mengungkap hakikat kebenaran dalam bertindak untuk memperoleh kembali pencitraan kampus yang telah hilang.

(Penulis adalah pemerhati konflik kekerasan di Makassar, Lahir di Watampone 27 Februari 1979,
Alumni UNM Angk.98 dn PPs UNM Angkt. 2007, Mantan Ketua BEM FBS UNM Priod.2000-2001)

http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/16/mengungkap-penyebab-perilaku-kekerasan-mahasiswa-makassar/

About rhezaagusta

lo ya lo

Posted on Oktober 5, 2011, in Uncategorized. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar